DWI SUCI LESTARIANA[DOSEN UNIVERSITAS BOYOLALI] : PERAN KWT DI ERA PANDEMI COVID 19

banner 160x600
banner 468x60

 

Situasi Pandemi Covid-19 di Indonesia

Kasus pandemi covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia di awal tahun 2020, tepatnya pada Maret 2020. Kejadian yang tidak pernah diprediksi sebelumnya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Kejadian ini membuat semua pemangku kepentingan baik dari sektor pemerintah maupun swasta menerapkan kebijakan darurat sebagai upaya menekan penyebaran kasus terkonfirmasi Covid-19.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) adalah kebijakan dari pemerintah Indonesia untuk menekan laju penyebaran kasus terkonfimasi Covid-19. Implementasi kebijakan ini tertuang antara lain dalam bentuk WFH (work from home), SFH (school from home), dan himbauan Indonesia, dirumah aja!. Pada awal kebijakan ini diterapkan, tidak semua kalangan masyarakat siap untuk menjalankan, akibatnya terjadi gejolak dimasyarakat karena rasa panik dan ketakutan akan keberlangsungan hidup mereka. Masyarakat dihadapkan pada dilema antara menyelamatkan nyawa dengan berdiam diri di rumah atau tetap berjuang demi kelangsungan hidup keluarga.

Dalam kaitannya dengan proses kehidupan yang semestinya terus berjalan, kemudian dihadapkan pada keadaan “new normal” segala kegiatan produksi yang selama ini menjadi penunjang kehidupan merasakan dampak atas kebijakan PSBB dan AKB. BPS RI dalam bukunya “Analisis Hasil Survey Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha” tahun 2020 menyatakan bahwa 77 % sektor pengadaan air dan pengelolaan limbah, pertanian, peternakan dan perikanan, dan real estate dan 27% perusahaan sektor jasa pendidikan masih beroperasi seperti biasa, sementara itu yang menempati peringkat teratas perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja di masa pandemi Covid-19 antara lain 18,69% bidang industri pengolahan; 18,59% bidang konstruksi; 17,63% bidang akomodasi makan dan minum, sedangkan perusahaan yang menepati peringkat terendah melakukan pemutusan hubungan kerja antara lain 6,51% perusahaan air dan pengelolaan sampah; 5,69% perusahaan jasa keuangan; 4,96% perusahaan listrik dan gas.

Pemberhentian kegiatan operasional di beberapa sektor usaha memberikan “pekerjaan rumah” baru bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga memunculkan berbagai gerakan untuk saling peduli dan saling menjaga, seperti salah satunya yang dicetuskan oleh Gubernur Jawa Tengah dengan gerakannya “jogo tonggo!

 

Arti Penting Kemandirian Pangan Skala Mikro

Kepastian akan ketersediaan pangan, menjadi issue strategis di masa pandemi Covid-19 hampir di seluruh negara yang terkena wabah ini. Tak jarang di beberapa negara termasuk Indonesia pada saat awal wabah ini masuk, disertai dengan kebijakan PSBB dan AKB membuat masyarakat mengalami goncangan psikologis sehingga terjadi fenomena panic buying. Masyarakat dihadapkan pada situasi dimana keselamatan diri dan keluarga menjadi faktor utama yang harus diperjuangkan (Zahra, 2019). Secara ekonomis panic buying menyebabkan ketidakstabilan harga berbagai komoditas disertai kelangkaan barang kebutuhan pokok dan suplemen kesehatan baik yang berupa tanaman berkhasiat obat (herbal) kelompok rimpang dan vitamin.

Belajar dari situasi awal masa pandemi Covid-19 dan adanya gerakan semacam jogo tonggo!, sudah semestinya masyarakat Indonesia baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan mempunyai semangat untuk menciptakan kemandirian pangan untuk skala mikro dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dari lokasi tempat tinggalnya (tingkat RT/RW/Desa/Kelurahan).

Undang-Undang No. 18 tahun 2012 menyatakan bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Kemandirian pangan yang mampu diciptakan suatu bangsa baik ditingkat perseorangan maupun kelompok masyarakat akan mewujudkan terciptanya ketahanan pangan, yaitu keadaan di mana terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, produktif, secara berkelanjutan (Undang-Undang N0. 18 tahun 2012).

Mengacu pada Undang-Undang No. 18 tahun 2012 untuk mewujudkan kemandirian pangan di masa pandemi Covid-19 sangatlah penting untuk memperhatikan potensi lokal suatu daerah baik yang berupa sumber keanekaragaman hayati (sumber daya lokal) ataupun masyarakat itu sendiri sebagai pelaku utama kegiatan. Konsep kemandirian pangan yang melibatkan masyarakat penuh untuk berkontribusi ini nanti yang akan menciptakan konsep kedaulatan pangan, sehingga kedaulatan pangan tidak hanya menekankan pada aspek sumber daya lokal tetapi juga masyarakat lokal (Hariyadi, 2012).

 

Peran Dan Fungsi Kelompok Wanita Tani

Kebijakan PSBB dan AKB yang diterapkan selama masa pandemi Covid-19 memberikan dampak perubahan pola perilaku masyarakat dalam berkegiatan. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya meliputi pola konsumsi/gaya hidup yang disebabkan karena “ambruk”nya perekonomian tetapi juga meliputi perubahan pola bekerja. Kebijakan WFH dan SFH menyebabkan masyarakat lebih banyak diam di rumah dan melakukan kegiatan rutin (kantoran) secara remote menggunakan perangkat IT.

Kondisi pandemi yang (sepertinya) masih butuh waktu lama untuk pulih seperti semula menyebabkan kebosanan mulai melanda kalangan pekerja kantoran dengan segala aktivitasnya yang sebagian besar masih diselesaikan dari rumah, demikian juga halnya dengan kelompok pekerja yang kehilangan pekerjaan karena dampak situasi Pandemi Covid-19. Kondisi ini memaksa mereka untuk kreatif menciptakan hal baru sebagai cara untuk menyelamatkan kelangsungan hidup keluarga.

 Fenomena menarik terjadi selama masa pandemi di mana masyarakat mulai menyukai kegiatan bertani untuk mengisi waktu selama di rumah. Kejadian ini tidak hanya terjadi di pedesaan tetapi juga terjadi di perkotaan yang mayoritas merupakan kaum urban (pekerja). Dari diskusi penulis dengan beberapa wanita pegiat tani, motivasi mereka pada awalnya tidak lebih dari mengisi waktu luang dan mengusir kebosanan, di samping untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga terutama untuk tanaman sayuran dan tanaman berkhasiat obat yang ketika masa pandemi mengalami lonjakan harga yang sangat fantastis.

 

Ada perbedaan menonjol antara wanita pegiat tani di pedesaan dan diperkotaan, perbedaan itu terletak antara lain (1) pada jenis organisasinya (2) pada teknik budidaya yang mereka lakukan (3) hilirisasi produk.

 

1. Jenis Organisasi

Diperhatikan dari jenis organisasinya, di pedesaan wanita pegiat tani biasa disebut dengan kelompok wanita tani (KWT) yang dibentuk mulai dari tingkat RT/RW/Kelurahan. Tujuan dibentuknya KWT ini antara lain sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat dalam hal ini wanita desa terutama yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. KWT adalah sebagai wadah untuk pemberdayaan sehingga Ibu-Ibu pegiat KWT bisa lebih berdaya dan perlahan mampu mandiri secara ekomomi melalui berbagai kegiatan produktif yang dilakukan oleh KWT. Di perkotaan wanita pegiat tani melakukan secara mandiri di lahan sekitar rumah mereka, dan ada juga yang melakukan secara berkelompok atau disebut dengan istilah community garden, meski ada juga yang membentuk KWT. Untuk mereka pegiat tani mandiri di perkotaan, mereka biasanya tergabung dalam suatu komunitas tertentu (misalnya kelompok hidroponik, kelompok vertikultur).

 

2. Teknik Budidaya

Perbedaan teknik budidaya adalah hal kedua yang membedakan pegiat tani di desa dan di kota. Di desa, Ibu-ibu KWT melakukan kegiatan pertanian dengan cara konvensional karena masih didapatkannya lahan pekarangan yang luas. Cara konvensional yang dilakukan KWT di pedesaan misalnya menanam langsung di tanah yang telah dipetak-petak atau dapat juga dengan menggunakan media tanam di dalam polybag (Contoh KWT Mekar Bersemi, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten)Sementara itudi perkotaan dengan posisi pekarangan yang cenderung terbatas (sempit) kegiatan bertani dilakukan dengan teknik hidroponik, vertikultur, bahkan bertani di atas atap rumah menggunakan media di dalam polybag. Perbedaan teknik budidaya ini otomatis mempengaruhi jenis tanaman yang dibudidayakan, di mana KWT di pedesaan mampu merawat lebih beraneka ragam tanaman dibandingkan dengan KWT (komunitas tani) di perkotaan.

 

3. Hilirisasi Produk

Hilirisasi produk merupakan salah satu bentuk dari diversifikasi pangan. Di pedesaan KWT tidak hanya bergerak dalam kegiatan budidaya tanaman pangan saja, akan tetapi juga yang melakukan kegiatan pengolahan produk pertanian menjadi produk makanan/minuman (Contoh: KWT Putri Mawar, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali). KWT bekerjasama dengan pelaku UKM untuk memasarkan.

Di perkotaan, karena kegiatan bertani dilakukan sebatas “sampingan” maka belum sampai mengarah pada hilirisasi produk hasil budidaya. Produk hasil budidaya sebatas hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan lingkungan sekitar.

Dengan ciri khas masing-masing tersebut, ada benang merah yang dapat kita tarik yaitu tentang peran dan fungsi kelompok wanita tani dalam partisipasinya untuk menciptakan kemandirian pangan menuju ketahanan pangan nasional. Beberapa hal yang dapat kita rumuskan tentang peran KWT antara (1) KWT dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengambangkan kemampuan petani dan keluarganya sebagai pelaku utama kegiatan pertanian (2) KWT dibentuk untuk meningkatkan produktivitas ibu rumah tangga di pedesaan sehingga menjadi lebih berdaya untuk mendukung bahkan meningkatkan pendapatan rumah tangga (3) KWT dibentuk sebagai sarana untuk menciptakan harmonisasi di masyarakat dan mendukung terciptanya lingkungan yang lestari.

 

Strategi Optimalisasi KWT

Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh untuk melakukan Revitalisasi KWT untuk menciptakan kemandirian pangan skala mikro di masa pandemi Covid-19 antara lain sebagai berikut:

(1) Penguatan kelembagaan kelompok wanita tani oleh pemerintah daerah setempat. Penguatan kelembagaan berbasis capital social setempat dengan prinsip kemandirian lokal yang dicapai melalui prinsip pemberdayaan keotonomian (Hermanto dan Swastika, 2016). (2) Penguatan struktur organisasi KWT yang dilakukan secara partisipatif oleh sesama anggota KWT, sehingga mampu mengakomodasi segala potensi yang dimiliki oleh kelompok yang menjadi modal untuk menjalankan tugas dan fungsi kolektifnya. (3) Fasilitasi penyuluh pertanian yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat, sehingga mampu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan seluruh anggota KWT. (4) Fasilitasi dari pemerintah daerah berupa jejaring kerjasama sehingga tercipta link and matchantara program KWT dengan program pemerintah daerah dalam mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan, khususnya di masa pandemi Covid-19.

 

REFERENSI

 

BPS. 2020. Analisis Hasil Survey Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha. BPS RI

 

Hermanto, n., & Swastika, D. (2016). Penguatan Kelompok Tani: Langkah Awal Peningkatan Kesejahteraan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian, 9(4), 371-390.

doi:http://dx.doi.org/10.21082

/akp.v9n4.2011.

371-390

 

Hariyadi, P. (2012). Industri pangan dalam menunjang kedaulatan pangan. Merevolusi Revolusi Hijau: Pemikiran Guru Besar IPB, 74-88.

 

Zahra, S. (2020). PANIC BUYING DI MASA PANDEMI DAN RELEVANSINYA DENGAN IKHTIKAR DALAM PADANGAN ISLAM. At-Tasharruf “Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis Syariah”, 1(2), 79-87. doi:https://doi.org/10.32528/at.v1i2.3471

 

Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

 

Email Autoresponder indonesia
author
No Response

Comments are closed.